kumpulan puisi chairul nwar
Skip to content
Puisi Chairil Anwar – Selamat datang kembali di web ekspektasia.
Siapa sih yang tidak kenal Chairil Anwar? Seorang penyair besar yang
dimiliki Indonesia. Banyak sekali karyanya yang hingga saat ini masih
sangat terkenang.
Karya yang paling terkenal yang pernah dibuat oleh Chairil Anwar yaitu sebuah puisi yang berjudul “AKU”. Bahkan dari puisi ini dia dijuluki dengan nama “Si Binatang Jalang”.
Chairil Anwar sendiri membuat puisi dengan berbagai objek, seperti puisi cinta, puisi sahabat, puisi ibu, puisi sindiran kepada pejabat, dan lain sebagainya.
Agar kita bisa mengenal dan mengenang semua karyanya, maka berikut ini kami sajikan kumpulan puisi karya Chairil Anwar.
Karya
yang pernah Ia tulis yaitu sebanyak 94 karya yang dimana 70 di
antaranya merupakan puisi. Kemudian oleh H.B Jassin, Chairil Anwar
bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin dinobatkan sebagai pelopor
Angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Berikut ini detail biodata Chairil Anwar yang bersumber dari Wikipedia,
Nama Lengkap: Chairil Anwar
Tanggal Lahir: 26 Juli 1922
Tempat Lahir: Medan, Indonesia
Pekerjaan: Penyair
Kebangsaan: Indonesia
Orang tua: Ayah – Toeloes dan Ibu – Saleha
Chairil Anwar adalah seorang anak tunggal dari ayah Toeloes dan Ibu Saleha yang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya tersebut. Ia lahir dan dibesarkan di Medan, teman akrabnya waktu kecil yang juga sangat mengesankan dalam hidupnya yaitu neneknya sendiri.
Sekolah yang merupakan tempat Ia belajar yaitu di sekolah dasar dengan nama Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah lulus, kemudian melanjutkan sekolahnya ke sekolah menengah pertama di Meer uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), namun Ia keluar sebelum lulus.
Pasca keluar dari sekolah MULO, Ia memanfaatkan waktunya untuk membaca karya-karya pengarang Internasional. Pada saat usia remaja, barulah Ia mulai menulis puisi, namun tidak ada satupun puisi yang sesuai dengan keinginannya.
Pada tahun 1940 dimana usianya pada saat itu yaitu 19 tahun, ia pindah ke Jakarta bersama ibunya, dan dari sinilah dia mulai serius berkecimpung di dunia sastra, sehingga pada tahun 1942 terbitlah puisi pertamanya.
Kemudian
nama Chairil Anwar pun terkenal semenjak karya yang ia tulis di muat di
“Majalah Nisan” pada tahun 1942. Salah satu puisinya yang kita kenal
dan sering dideklarasikan yaitu puisi Chairil Anwar berjudul “AKU” (Aku mau hidup seribu tahun lagi).
Selain menulis puisi, ia juga menjadi penerjemah karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia.
Chairil Anwar sudah terkenal secara internasional, berikut iini merupakan karya-karya yang membahasa tentang Chairil Anwar:
AKU
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1957
Cintaku jauh di pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamuBiar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Kawanku dan Aku
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
1943
Ajakan
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang lengang lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalanRia bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Februari 1943
Aku Berada Kembali
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
guruh.
1949
Buat Gadis Rasid
Antara
daun-daun hijau
padang lapang dan terang
anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
– mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
– the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
1948
Berita Buat Dien Tamaela
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
1946
IBU
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu…..
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu…..
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….
Ibu….
Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..
Tak Sepadan
Aku kira: Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbukaJadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Februari 1943
Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.
”Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!
Hampa
Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malamMalam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
RumahkuRumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu27 april 1943
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Sajak Putih
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh akuHidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…1944
Dalam KeretaDalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo…, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta.
Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada15 Maret 1944
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampakAku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak
13 Juli 1943
Derai-derai Cemaracemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendamaku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah1949
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayangTapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
14 Juli 1943
Selamat Tinggal
Perempuan…
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
– dalam hatiku? –
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam butaAh…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!!
Semangat dan Mari Berkarya!
Incoming Terms:
You need it, you read it, you get it!
[TERLENGKAP] Kumpulan Puisi Chairil Anwar
Karya yang paling terkenal yang pernah dibuat oleh Chairil Anwar yaitu sebuah puisi yang berjudul “AKU”. Bahkan dari puisi ini dia dijuluki dengan nama “Si Binatang Jalang”.
Chairil Anwar sendiri membuat puisi dengan berbagai objek, seperti puisi cinta, puisi sahabat, puisi ibu, puisi sindiran kepada pejabat, dan lain sebagainya.
Agar kita bisa mengenal dan mengenang semua karyanya, maka berikut ini kami sajikan kumpulan puisi karya Chairil Anwar.
Daftar Isi Artikel [hide]
- 1 Biografi Chairil Anwar
- 2 Puisi Chairil Anwar Aku
- 3 Puisi Chairil Anwar Karawang Bekasi
- 4 Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta – Cintaku Jauh Di Pulau
- 5 Puisi Chairil Anwar Diponegoro
- 6 Puisi Chairil Anwar Doa
- 7 Puisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kepada Kawan
- 8 Puisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kawanku Dan Aku
- 9 Puisi Chairil Anwar – 1943
- 10 Puisi Chairil Anwar – Ajakan
- 11 Puisi Chairil Anwar – Aku Berada Kembali
- 12 Puisi Chairil Anwar – Aku Berkisar Antara Mereka
- 13 Puisi Chairil Anwar – “BETINA”-NYA AFFANDI
- 14 Puisi Chairil Anwar – Buat Album D.S,
- 15 Puisi Chairil Anwar – Buat Gadis Rasid
- 16 Puisi Chairil Anwar – Buat Nyonya N.
- 17 Puisi Chairil Anwar – Catetan Th. 1946
- 18 Puisi Chairil Anwar – Cerita
- 19 Puisi Chairil Anwar – Cerita Buat Dien Tamaela
- 20 Puisi Chairil Anwar Tentang Ibu
- 21 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – TAK SEPADAN
- 22 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Senja di Pelabuhan Kecil
- 23 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Cintaku Jauh di Pulau
- 24 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sebuah Kamar
- 25 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Hampa
- 26 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Prajurit Jaga Malam
- 27 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Yang Terampas dan Yang Putus
- 28 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Rumahku
- 29 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Persetujuan Dengan Bung Karno
- 30 Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sajak Putih
- 31 Puisi Chairil Anwar – Dalam Kereta
- 32 Puisi Chairil Anwar – Dendam
- 33 Puisi Chairil Anwar – Derai-derai Cemara
- 34 Puisi Chairil Anwar – Di Mesjid
- 35 Puisi Chairil Anwar – Hukum
- 36 Puisi Chairil Anwar – Isa
- 37 Puisi Chairil Anwar – Jangan Kita Berhenti Disini
- 38 Puisi Chairil Anwar – Kabar Dari Laut
- 39 Puisi Chairil Anwar – Kenangan
- 40 Puisi Chairil Anwar – Kepada Pelukis Affandi
- 41 Puisi Chairil Anwar – Kepada Penyair Bohang
- 42 Puisi Chairil Anwar – Kesabaran
- 43 Puisi Chairil Anwar – Kita Gunyah Lemah
- 44 Puisi Chairil Anwar – Kupu Malam dan Biniku
- 45 Puisi Chairil Anwar – Lagu Biasa
- 46 Puisi Chairil Anwar – Lagu Siul
- 47 Puisi Kemerdekaan Chairil Anwar – Merdeka
- 48 Puisi Chairil Anwar – Pemberian Tahu
- 49 Puisi Chairil Anwar – Penerimaan
- 50 Puisi Chairil Anwar – Perhitungan
- 51 Puisi Chairil Anwar – Sajak Buat Basuki Resobowo
- 52 Puisi Chairil Anwar – Selama Bulan Menyinari Dadanya
- 53 Puisi Chairil Anwar – Selamat Tinggal
- 54 Puisi Chairil Anwar – Semangat
- 55 Puisi Chairil Anwar – Sendiri
- 56 Puisi Chairil Anwar – Sia-sia
- 57 Puisi Chairil Anwar – Siap-Sedia
- 58 Puisi Chairil Anwar – Sorga
- 59 Puisi Chairil Anwar – Sudah Dulu Lagi
- 60 Puisi Chairil Anwar – Taman
Biografi Chairil Anwar
Chairil Anwar adalah salah seorang penyair Indonesia yang berasa dari Medan. Tulisannya yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun 1942 membuat dirinya mulai terkenal di dalam dunia sastra. Kemudian berkat karyanya yang berjudul “AKU”, Chairil Anwar ini dikenal sebagai “Si Binatang Jalang”.Berikut ini detail biodata Chairil Anwar yang bersumber dari Wikipedia,
Nama Lengkap: Chairil Anwar
Tanggal Lahir: 26 Juli 1922
Tempat Lahir: Medan, Indonesia
Pekerjaan: Penyair
Kebangsaan: Indonesia
Orang tua: Ayah – Toeloes dan Ibu – Saleha
Chairil Anwar adalah seorang anak tunggal dari ayah Toeloes dan Ibu Saleha yang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya tersebut. Ia lahir dan dibesarkan di Medan, teman akrabnya waktu kecil yang juga sangat mengesankan dalam hidupnya yaitu neneknya sendiri.
Sekolah yang merupakan tempat Ia belajar yaitu di sekolah dasar dengan nama Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah lulus, kemudian melanjutkan sekolahnya ke sekolah menengah pertama di Meer uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), namun Ia keluar sebelum lulus.
Pasca keluar dari sekolah MULO, Ia memanfaatkan waktunya untuk membaca karya-karya pengarang Internasional. Pada saat usia remaja, barulah Ia mulai menulis puisi, namun tidak ada satupun puisi yang sesuai dengan keinginannya.
Pada tahun 1940 dimana usianya pada saat itu yaitu 19 tahun, ia pindah ke Jakarta bersama ibunya, dan dari sinilah dia mulai serius berkecimpung di dunia sastra, sehingga pada tahun 1942 terbitlah puisi pertamanya.
Selain menulis puisi, ia juga menjadi penerjemah karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia.
Chairil Anwar sudah terkenal secara internasional, berikut iini merupakan karya-karya yang membahasa tentang Chairil Anwar:
- Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953).
- Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
- Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974).
- U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976).
- Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
- Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976.
- B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983).
- Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984).
- Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985).
- Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987).
- Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995).
- Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).
- Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).
Puisi Chairil Anwar Aku
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi Chairil Anwar Karawang Bekasi
KARAWANG BEKASI
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1957
Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta – Cintaku Jauh Di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Puisi Chairil Anwar Diponegoro
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Puisi Chairil Anwar Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamuBiar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Puisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kepada Kawan
Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Puisi Chairil Anwar Tentang Persahabatan – Kawanku Dan Aku
Kawanku dan Aku
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti
Puisi Chairil Anwar – 1943
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
1943
Puisi Chairil Anwar – Ajakan
Ajakan
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang lengang lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalanRia bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Februari 1943
Puisi Chairil Anwar – Aku Berada Kembali
Aku Berada Kembali
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
guruh.
1949
Puisi Chairil Anwar – Aku Berkisar Antara Mereka
Aku Berkisar Antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji
juga
Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah cerita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.
1949
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji
juga
Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah cerita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.
Puisi Chairil Anwar – “BETINA”-NYA AFFANDI
Betina-nya Affandi
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Matamu menentang – sebentar dulu! –
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu…
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
Perempuan dan Laki
1946
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Matamu menentang – sebentar dulu! –
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu…
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
Perempuan dan Laki
1946
Puisi Chairil Anwar – Buat Album D.S,
Buat Album D.S,
Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.
Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.
Kami rasa bahagia ‘kan tiba.
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
Lagu merdu! apa mengertikah adikku kecil
yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?
1946
Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.
Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.
Kami rasa bahagia ‘kan tiba.
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?
1946
Puisi Chairil Anwar – Buat Gadis Rasid
Buat Gadis Rasid
Antara
daun-daun hijau
padang lapang dan terang
anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
– mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
– the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
1948
Puisi Chairil Anwar – Buat Nyonya N.
Buat Nyonya N.
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada
gaun.Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat
kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
sungguh tiada tahuJalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-
buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada
gaun.Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat
kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
sungguh tiada tahuJalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-
buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
Puisi Chairil Anwar – Catetan Th. 1946
Catetan Th. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita -anjing diburu- hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau
di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau disertakan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita -anjing diburu- hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau
di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau disertakan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
1946
Puisi Chairil Anwar – Cerita
Cerita
kepada Darmawidjaja
Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
9 Juni 1943
kepada Darmawidjaja
Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
9 Juni 1943
Puisi Chairil Anwar – Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
1946
Puisi Chairil Anwar Tentang Ibu
IBU
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu…..
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu…..
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….
Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – TAK SEPADAN
Tak Sepadan
Aku kira: Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbukaJadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Februari 1943
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Senja di Pelabuhan Kecil
Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.
”Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sebuah Kamar
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Hampa
Hampa
Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Prajurit Jaga Malam
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malamMalam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Yang Terampas dan Yang Putus
Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Rumahku
RumahkuRumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu27 april 1943
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Persetujuan Dengan Bung Karno
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu – Sajak Putih
Sajak Putih
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh akuHidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…1944
Puisi Chairil Anwar – Dalam Kereta
Dalam KeretaDalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo…, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta.
Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada15 Maret 1944
Puisi Chairil Anwar – Dendam
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampakAku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak
13 Juli 1943
Puisi Chairil Anwar – Derai-derai Cemara
Derai-derai Cemaracemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendamaku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah1949
Puisi Chairil Anwar – Di Mesjid
Di Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkudaIni ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
29 Mei 1943
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkudaIni ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
Puisi Chairil Anwar – Hukum
Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling.
Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa.
Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Maret 1943
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling.
Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa.
Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Isa
Isa
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darahrubuh
patahmendampar Tanya: aku salah?kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
12 November 1943
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darahrubuh
patahmendampar Tanya: aku salah?kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
12 November 1943
Puisi Chairil Anwar – Jangan Kita Berhenti Disini
Jangan Kita Berhenti Disini
Jangan kita di sini berhenti.
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu…!!
Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayuani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa??24 Juli 1943
Jangan kita di sini berhenti.
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu…!!
Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayuani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa??24 Juli 1943
Puisi Chairil Anwar – Kabar Dari Laut
Kabar Dari Laut
Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium nafsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan
memuji.
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?1946
Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium nafsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan
memuji.
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?1946
Puisi Chairil Anwar – Kenangan
Kenangan
untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19 April 1943
untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membumbung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19 April 1943
Puisi Chairil Anwar – Kepada Pelukis Affandi
Kepada Pelukis Affandi
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, berdiri
di ambang penuh kupak,
adalah karena kesementaran segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.
Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggiatas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka!1946
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, berdiri
di ambang penuh kupak,
adalah karena kesementaran segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.
Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggiatas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka!1946
Puisi Chairil Anwar – Kepada Penyair Bohang
Kepada Penyair Bohang
Suaramu bertanda derita laut tenang…
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, dimulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“Aku saksi!”Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
bertampuk suatu dunia;
menguyup rintik satu-Satu
Kaca dari dirimu pula…1945
Suaramu bertanda derita laut tenang…
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, dimulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“Aku saksi!”Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
bertampuk suatu dunia;
menguyup rintik satu-Satu
Kaca dari dirimu pula…1945
Puisi Chairil Anwar – Kesabaran
Kesabaran
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tibaMaret 1943
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tibaMaret 1943
Puisi Chairil Anwar – Kita Gunyah Lemah
Kita Gunyah Lemah
Kita gunyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita penmdam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.22 Juli 1943
Kita gunyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita penmdam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.22 Juli 1943
Puisi Chairil Anwar – Kupu Malam dan Biniku
Kupu Malam dan Biniku
Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah.
Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatuBarangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943
Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah.
Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatuBarangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Lagu Biasa
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan.
Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling.
Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata.
Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlariKetika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana….Maret 1943
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan.
Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling.
Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata.
Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlariKetika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana….Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Lagu Siul
Lagi Siul
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
25 November 1945
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
25 November 1945
Puisi Kemerdekaan Chairil Anwar – Merdeka
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayangTapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
14 Juli 1943
Puisi Chairil Anwar – Pemberian Tahu
Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan,
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!1946
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan,
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!1946
Puisi Chairil Anwar – Penerimaan
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Perhitungan
Perhitungan
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda
cayaLangit bersih-cerah dan purnama raya…
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.
Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke
Sukabumi…!?Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
16 Maret 1943
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda
cayaLangit bersih-cerah dan purnama raya…
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.
Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke
Sukabumi…!?Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
16 Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Sajak Buat Basuki Resobowo
Sajak Buat Basuki Resobowo
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! –
aku terus gelandangan….28 Februari 1947
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! –
aku terus gelandangan….28 Februari 1947
Puisi Chairil Anwar – Selama Bulan Menyinari Dadanya
Selama Bulan Menyinari Dadanya
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas
bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
tidak meninggalkan sekoci.
Lihat cinta juga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
rumah bersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kuadaan, kapal-kapalan di
zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghempas kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.1948
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas
bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
tidak meninggalkan sekoci.
Lihat cinta juga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
rumah bersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kuadaan, kapal-kapalan di
zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghempas kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.1948
Puisi Chairil Anwar – Selamat Tinggal
Perempuan…
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
– dalam hatiku? –
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam butaAh…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!!
Puisi Chairil Anwar – Semangat
Semangat
Kalau sampai waktuku
kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuangBiar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri.
Dan aku lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maret 1943
Kalau sampai waktuku
kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuangBiar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri.
Dan aku lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maret 1943
Puisi Chairil Anwar – Sendiri
Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnyaIa membenci.
Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut.
Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia tertunduk.
Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersendu: Ibu! Ibu!Februari 1943
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnyaIa membenci.
Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut.
Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia tertunduk.
Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersendu: Ibu! Ibu!Februari 1943
Puisi Chairil Anwar – Sia-sia
Sia-sia
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama.
Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.Februari 1943
Membawaku kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama.
Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.Februari 1943
Puisi Chairil Anwar – Siap-Sedia
Siap-Sedia
kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa Bahgia nyata.Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pendar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutanSegala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerawang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
1944
kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa Bahgia nyata.Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pendar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutanSegala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerawang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
1944
Puisi Chairil Anwar – Sorga
Sorga
buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
tambah ketujuh turunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai
susu
dan bertabur bidadari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di ditu memang memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Malang, 23 Februari 1947
buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
tambah ketujuh turunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai
susu
dan bertabur bidadari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di ditu memang memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Malang, 23 Februari 1947
Puisi Chairil Anwar – Sudah Dulu Lagi
Sudah Dulu Lagi
Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang
penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara
runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.1948
Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang
penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara
runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.1948
Puisi Chairil Anwar – Taman
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusiaMaret 1943
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusiaMaret 1943
***
Demikian
kumpulan Puisi Chairil Anwar yang merupakan karya yang luar biasa.
Terimakasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat. Jika ingin mendengar
dan melihat seperti apa puisi karya Chairil Anwar ini, Anda bisa
menontonnya di Youtube.Semangat dan Mari Berkarya!
Incoming Terms:
- puisi karya chairil anwar
- kumpulan puisi chairil anwar
- puisi aku karya chairil anwar
- puisi cinta chairil anwar
- musikalisasi puisi chairil anwar
- kumpulan puisi pendek chairil anwar
- puisi kemerdekaan chairil anwar
- puisi diponegoro karya chairil anwar
- puisi sumpah pemuda karya chairil anwar
- puisi perjuangan chairil anwar
- puisi pahlawan kemerdekaan karya chairil anwar